Langkah
Akhir Sang Pengoar
Safitri N. W.
Lukaku masih menganga. Jalanku
terseok-seok menahan tubuh lebam
Luka! Luka, bukan dihajar massa, tapi
luka karena cercaan dunia
Aku lahir sebagai pengobral kata-kata
Berkoar pada gedung tentang tembok
berlumut
Mulut ini suka sekali mengajakku
melangkah, mencari kawan berbagi kekecewaan
Batu-batu menusuk kaki
Hingga tapak kaki mengukir jejak di atas
batu jalanan
Dan batu-batu jadi petunjuk ke mana
selanjutnya aku melangkah…
Tiap jengkal yang ku gapai,
tiap langkah yang ku jejakkan,
aku melangkah ke timur, berhenti di
utara,
melangkah ke selatan, tapi berhenti di
barat,
dan ingin ke barat, tapi kembali di
timur.
terombang-ambing terbawa garis takdir, bukanlah
arah tanpa tujuan.
Itulah arah yang kutuju.
Barangkali aku
menemukan akhir di satu arah itu
Akhir pencarianku, pengakuan!
Sebentar, biarkan aku bungkam.
“aku bukan lagi sang pengoar”
Dengar, batu-batu dikakinya melolong,
menggertak!… memintanya berbaring.
Dan perlahan ia menyerah pada tanah
Aroma tanah basah, membius hidupnya
Inilah akhir keterombang-ambingan mulut
pengoar, jiwa kusut, kulit keriput
“Aku di mana? Sekalipun tak pernah ku
kemari”
Suaraku berdegup
terhimpit kekosongan
Ruang hampa tanpa suara, ruang hina
tanpa aroma
“Ah…
sepertinya mereka memang meniadakanku”
(Singajara’15)