Mendengar
kata Mahasiswa yang terlintas dibenak kita adalah sosok yang memiliki
intelektual tinggi, dihormati, dihargai, dan disegani oleh masyarakat.
Mahasiswa adalah aset penting Negara yang akan membangun Bangsa ini ke arah
yang lebih baik. Mereka dipercaya membangun masa depan negara, memperbaiki
sistem, dan menyatukan kepingan aset yang porak poranda, seperti akhlak, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
Namun, apakah asumsi seperti itu akan terus tertanam dalam pemikiran masyarakat?
Mengacu pada asumsi di atas, saat ini tidak
semua Mahasiswa benar-benar menjadi mahasiswa. Pada umumnya mahasiswa terlalu
sibuk mempertahankan indeks prestasi (IP). Mereka tidak peka terhadap apa yang terjadi di Negeri
tempat kaki mereka berpijak. Tidak
sedikit Mahasiswa kuliah hanya untuk lulus dengan IPK tinggi dan menyandang
gelar Sarjana. Tanpa memikirkan apa yang akan dilakukan setelah lulus dan tak
peduli dengan proses perkuliahan. Dalam menjajaki dunia perkuliahan tidak hanya
IPK yang dijadikan prioritas utama, namun pengalaman menjadi hal utama yang tak
dapat disingkirkan untuk menghadapi tantangan masa depan.
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, mari kita terbang ke kelas mengamati sedikit
kegiatan mahasiswa.
Seberapa penting IPK bagi mahasiswa? Mari kita
menuju mesin canggih. Mesin yang membantu Mahasiswa mendapat nilai A atau
minimal nilai B. Mereka menyebutnya Mesin fotokopi. Menjelang UTS dan UAS, mesin
penyelamat itu dikerumuni mahasiswa. Patah tumbuh hilang berganti, istilah yang
bisa digunakan untuk tempat yang tak kunjung sepi mahasiswa. Dengan bantuan
mesin fotokopi, buku yang awalnya berukuran A4 menjelma menjadi senjata ampuh
dengan ukuran 5 cm. Ya, senjata itu yang digunakan untuk memburu nilai. Dengan
senjata tersebut mereka tidak perlu belajar hingga larut, tidak repot menghafal
atau memahami materi kuliah, apalagi menerapkan ilmu yang didapat. Mereka lebih
suka memfotokopi catatan teman. Hanya mengeluarkan modal uang untuk mengubah
pusaka menjadi senjata mini. Selain itu, kita pasti pernah mendengar cletukan mahasiswa “posisi tempat duduk memengaruhi nilai
saat
ujian”, artinya jika pada saat ujian anda duduk di deretan pertama,
kemungkinan besar nilai anda lebih kecil dari kawan-kawan anda yang
duduk di deret
belakang. Saat UTS atau UAS tiba, mahasiswa berbondong-bondong datang
lebih
awal. Mereka datang lebih awal bukan untuk membiasakan disiplin waktu,
melainkan untuk mencari tempat duduk yang strategis. Seperti yang telah
kita
ketahui, tempat duduk yang dianggap strategis oleh mahasiswa terletak di
bangku
urutan nomer dua, tiga, empat, dan seterusnya.
Begitulah kecerdasan mahasiswa masa kini. Cerdas
dalam menemukan jalan pintas. Kecerdasan yang merugikan diri sendiri, membawa
petaka masa depan. Jika semua Mahasiswa menginginkan tempat strategis tersebut,
lalu siapa yang menempati posisi utama? Seharusnya mereka berbondong-bondong
mencari urutan pertama, dan Menjadi yang utama. Lalu, siapa yang disalahkan?
Mesin atau Mahasiswa sebagai pengguna? Dilihat dari peran mesin fotokopi, mesin
hanya menuruti tuannya. Penggunanyalah yang perlu dibenahi, karena pengguna
yang memaksa mesin melancarkan kelicikannya. Bukan Mahasiswa seperti itu yang
diharapkan untuk mengubah dan mengangkat Negeri ini dari keterpurukan.
Kecurangan seperti itu menjadi kebiasaan yang akan
dibawa Mahasiswa ketika terjun ke Masyarakat. Demi IPK Mahasiswa menghalalkan
segala cara. Apa yang dibanggakan dari IPK bagus, namun tak mencerminkan diri
kita? Seorang Mahasiswa berhak memperoleh IPK tinggi asal mampu mempertang-gungjawabkan
nilai yang tercantum pada Kartu Hasil Studi (KHS). IPK memang berperan, namun
itu tidak sepenuhnya menjamin keberhasilan di masa depan.
Lalu, mahasiswa seperti apa yang mampu mengubah
keadaan Negeri ini? Kembali pada fungsi Mahasiswa, yaitu sebagai generasi yang
akan membawa pe-rubahan ke arah lebih baik. Dewasa ini angka pengangguran
masyarakat menga-lami peningkatan, pengangguran terdidik banyak yang tidak
terserap dalam dunia kerja. Hal ini dikarenakan kurangnya Mahasiswa yang
berkompenten. Mahasiswa yang berkompeten adalah mahasiswa yang mampu
menyeimbangkan kegiatan Akademik dan non-akademik. Mereka harus tahu tugas dan
tanggung jawab sebagai generasi penerus. Mahasiswa yang hanya aktif dalam
kegiatan akademik, akan mengetahui ilmu, tetapi tidak menerapkan atau mengambil
tindakan dari apa yang diketahui. Dengan adanya kegiatan non-akadenik, ilmu
yang mahasiswa ketahui secara langsung diaplikasikan dalam kehidupan dan diakui
orang lain. Sebagai mahasiswa, jalur
yang dilalui seorang Mahasiswa tidak hanya Kampus, Perpus, rumah/kost. Jika jalur
tersesebut yang diambil, maka akan tercipta mahasiswa pintar dan memiliki nilai
bagus, namun tidak memiliki jaringan. Ingat, orientasi mahasiswa tidak hanya
IPK. Mahasiswa perlu jalur alternatif lain yaitu membangun sebuah jaringan. Jaringan
yang dimaksud adalah hubungan lintas Mahasiswa, Dosen, maupun masyarakat
sebagai wadah bersosialisasi. Jaringan akan mempermudah Mahasiswa dalam
mengambil jalan untuk gerakan peru-bahan, karena wawasan kita tidak hanya dari
kelas, tetapi juga dari alam.
Pada saat Mahasiswa lulus menjadi seorang sarjana,
jaringan sangat diperlukan sebagai penunjuk jalan kemana kita akan melangkah.
Tantangan masa depan seorang mahasiswa adalah jangan mencari lapangan kerja,
tetapi, ciptakanlah lapangan pekerjaan. Sudah Sepantasnya jika mahasiswa ikut
berkontribusi untuk perubahan masa depan. Mahasiswa perlu mengembalikan tradisi
dan membentuk karekter yang memiliki kepekaan atau kepedulian terhadap
kemunduran moral bangsa.
Mahasiswa yang sesungguhnya tidak hanya berorientasi
pada nilai, lulus, dan menyandang gelar. Mereka juga memikirkan apa yang bisa
dilakukan di masa depan. Dengan begitu Mahasiswa memiliki kegiatan positif untuk
menunjang tercapainya tujuan tesebut. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
menjadi Mahasiswa seutuhnya. Salah satunya adalah menyeimbangkan kegiatan
akademik dan kegiatan non-akademik untuk mengembangkan soft skill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar