Senin, 03 Maret 2014

kenangan tentang Damar (semalam)




Manusia, hewan, dan tumbuhan hidup adalah untuk menanti kematian. Bagainamapun dan dengan cara apapun kita menghindar, kematian akan menghampiri kita, mengajak kita melupakan kenangan yang pernah tercipta. “mereka” tidak akan pernah lagi mengingat masa-masanya di bumi, walau sebenarnya sisa tubuh mereka tertanam di bumi. Namun, kita yang masih hidup akan mengenang mereka yang mendahului meninggalkan kita.
Kenangan ini adalah salah satu kenangan tentang damar yang hanya semalam menyala memberi penerangan kepada kami, sahabat-sahabatnya, dan sekarang damar itu telah berhenti memancarkan api.
November 2013, saat kami mempersiapkan pameran BALI ACT, kami para sahabat memiliki ide untuk menggunakan salah satu gedung tua tak terpakai di Singaraja. Gedung itu adalah gedung bekas toko yang terbakar beberapa waktu silam. Gedung itu menyisakan tiang-tiang penyangga tanpa atap. Sesuai dengan tema pameran yaitu My Opinion, kami berinisiatif membungkus bagunan tua dengan koran-koran bekas dan memadukannya dengan berbagai instalasi pameran. Di sela-sela padatnya kuliah, setiap sore kami bergegas ke TKP (tempat kejadian pameran). Lembar demi lembar koran yang kami kumpulkan mulai terpasang melapisi bagunan.
November, ya bulan November adalah bulan di mana hujan mulai mengguyur tanah kering Indonesia. Malang nasib kami. Dini hari, saat kami terlelap hujan lebat mulai mengguyur Singaraja. Sial sekali, ternyata alam takberpihak kepada kami. Siang hari sepulang kuliah, beberapa dari kami bergegas menuju TKP. Mata kita terbelalak melihat bangunan tua tanpa atap yang kami ubah dengan berbagai rentetan kata menjadi rusak, lenyap bersama tetesan air yang mengenai bangunan.
Nasib malang yang menimpa kami membuat kami harus memulai dari awal, apalagi pameran yang kita laksanakan tinggal tiga hari lagi. Sungguh waktu yang sangat singkt untuk memulai semuanya. Terpaksa, selama beberapa hari kami harus lembur, menginap di TKP untuk menyelesaikan semuanya.
Malam itu, sekitar sepuluh orang bergantian merekatkan kembali koran-koran ke dinding-dinding bangunan. Jika mata sudah tidak kuat menyangga kami bergantian untuk istirahat. Malam itu, suara sahabat kami, Kak Darwis yang beberapa hari yang lalu  telah meninggalkan kami terngiang di telinga “kalau kalian ngantuk, tidur aja dulu. Biar aku yang menjaga dan nempelin korannya”.
Ternyata bermalam di bangunan tua tidak kalah dengan kemah pramuka. Kami terlelap di atas lantai beralaskan kabar berita dunia, seribu bencana, dan opini masyarakat. Dalam lelap tanpa ketenangan, aku mendengar suara gemrisik suara yang sedikit mengganggu. “Oh... aku kira apa” ternyata Kak Darwis dan satu lagi teman kami, ternyata mereka masih berjaga, entah apa yang ia lakukan. Aku terbangun, mengucek mata meihat sekeliling. Lambu-lampu jalanan masih menyala, gambar-gambar pada dinding bagunan tampak remang oleh sinar damar, ku lihat satu per satu tubuh sahabat-sabhabatku yang tergeletak menikmati kehangatan tanah. Aku memutuskan bergabung bersama mereka, bercerita tentang pelayaran hidup yang kami jalani, terutama masalah pameran.
Setelah itu, kami bertiga memutuskan untuk merekatkan kembali kata-kata yang belum terpasang (koran) pada dinding. Belum lama kami bekerja, mata mulai redup, capek, dan kami menyebar untuk sekadar meluruskan badan, tidur. Mulailah kawan-kawan lain terbangun, mulai menggantikan kami untuk merekatkan koran yang belum terpasang, hingga subuh, sebelum kami memutuskan kembali ke tempat kami.
Setitik kenangan yang Ia ciptakan selama hadir di tengah-tengah segelintir manusia aneh ini akan kami catat dalam sebuah Prasasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar