Minggu, 17 Januari 2016

JUDUL . . .

Kala itu, pengakuanmu disaksikan samudra, kata demi kata yang ucap dijawab desir ombak. Mungkin mereka ikut bergejolah ketika kau lontarkan ketulusan. Hingga mereka, pasir-pasir mengelus, mendekatkan kaki kita.
kau tahu sayang? saat kau berkata "Selain Tuhan dan keluargaku, maukah kau menjadi tujuan hidupku?" aku tak menjawab pengakuanmu. Aku melakukannya bukan karena aku tak mau.
Tapi aku, menghunuskan tatapanku saat kau menggenggam tanganku, "Ya... aku mau menjadi tujuan hidupmu" batinku berbisik. Dan kau melanjutkan "Aku ingin bahagia, juga ingin membahagiakan kamu"...
Mungkin kau tak mendengar bisikanku sayang. Bisikanku kala itu direnggut desis angin. Ia menghantarkannya pada pasir. Dan ia berbisik lembut di sela-sela jarimu saat kau menyentuh dan memainkannya.
Sayang, aku tak terbiasa mendapat bisikan manis tentang cinta. aku juga tak terbiasa dengan genggaman. Dan ketika kau melakukan itu semua, aku tak bisa mengelak, apalagi membiarkan ombak mengandaskan keikhlasanmu.
Sebenarnya aku juga tak terbiasa membatin kata ini  --aku ingin memelukmu-- bukan sekadar pelukan melepas rindu setelah tujuh tahun berpisah, tapi "........................................................"
"Di atas kesaksian samudra, di pusat pempat penjuru, di tengah jajaran bukit, dan di himpitan butur pasir, ku serahkan diriku padamu ..."

................................................................................................................................................................

................................................................................................................................................................

................................................................................................................................................................

PM, 3 Jan 16
(Pi'i)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar