Kala itu, pengakuanmu disaksikan samudra, kata demi kata yang ucap dijawab desir ombak. Mungkin mereka ikut bergejolah ketika kau lontarkan ketulusan. Hingga mereka, pasir-pasir mengelus, mendekatkan kaki kita.
kau tahu sayang? saat kau berkata "Selain Tuhan dan keluargaku, maukah kau menjadi tujuan hidupku?" aku tak menjawab pengakuanmu. Aku melakukannya bukan karena aku tak mau.
Tapi aku, menghunuskan tatapanku saat kau menggenggam tanganku, "Ya... aku mau menjadi tujuan hidupmu" batinku berbisik. Dan kau melanjutkan "Aku ingin bahagia, juga ingin membahagiakan kamu"...
Mungkin kau tak mendengar bisikanku sayang. Bisikanku kala itu direnggut desis angin. Ia menghantarkannya pada pasir. Dan ia berbisik lembut di sela-sela jarimu saat kau menyentuh dan memainkannya.
Sayang, aku tak terbiasa mendapat bisikan manis tentang cinta. aku juga tak terbiasa dengan genggaman. Dan ketika kau melakukan itu semua, aku tak bisa mengelak, apalagi membiarkan ombak mengandaskan keikhlasanmu.
Sebenarnya aku juga tak terbiasa membatin kata ini --aku ingin memelukmu-- bukan sekadar pelukan melepas rindu setelah tujuh tahun berpisah, tapi "........................................................"
"Di atas kesaksian samudra, di pusat pempat penjuru, di tengah jajaran bukit, dan di himpitan butur pasir, ku serahkan diriku padamu ..."
................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................
PM, 3 Jan 16
(Pi'i)
PRASASTI, BENTUK SEJARAH DALAM CERITAKU
Apapun yang pernah ku lihat, rasakan, dan dapatkan adalah Prasasti
Minggu, 17 Januari 2016
CAP
A
B B
C C
D D
E E
____________
bukan sekadar tanda
Ia adalah rentetan CAP pengesahan
Cap bukti belajar
saksi paling sakti
saksi paling dipercaya, tanpa bersuara
setelah ujian, ibu bapak selalu menanyakan dapat cap apa, bukan "apa kamu belajar sesuatu?"
jika kami lulus, yang dilihat cap
kami bekerja yang lirik cap
tak heran jika kami memuja cap
ada yang dicap B, ingin bercap A
yang dicap C, ingin B, bahkan A
dan yang dicap D/E, harus beli cap A, B, atau C
Kami belajar demi cap
untuk mendapatkan cap tersakti, kami bisa menjelma jadi apa saja
termasuk jadi mesin fotokopi
bahkan membeli cap bersakti dan menekankannya pada kepala angin
Cap bagai penentu tertinggi dalam hidup kami
dan saat tubuh kami penuh cap, kami juga akan menge-cap
siapa saja yang butuh cap
Pi'i (16)
B B
C C
D D
E E
____________
bukan sekadar tanda
Ia adalah rentetan CAP pengesahan
Cap bukti belajar
saksi paling sakti
saksi paling dipercaya, tanpa bersuara
setelah ujian, ibu bapak selalu menanyakan dapat cap apa, bukan "apa kamu belajar sesuatu?"
jika kami lulus, yang dilihat cap
kami bekerja yang lirik cap
tak heran jika kami memuja cap
ada yang dicap B, ingin bercap A
yang dicap C, ingin B, bahkan A
dan yang dicap D/E, harus beli cap A, B, atau C
Kami belajar demi cap
untuk mendapatkan cap tersakti, kami bisa menjelma jadi apa saja
termasuk jadi mesin fotokopi
bahkan membeli cap bersakti dan menekankannya pada kepala angin
Cap bagai penentu tertinggi dalam hidup kami
dan saat tubuh kami penuh cap, kami juga akan menge-cap
siapa saja yang butuh cap
Pi'i (16)
Selasa, 10 November 2015
Langkah Akhir Sang Pengoar
Langkah
Akhir Sang Pengoar
Safitri N. W.
Lukaku masih menganga. Jalanku
terseok-seok menahan tubuh lebam
Luka! Luka, bukan dihajar massa, tapi
luka karena cercaan dunia
Aku lahir sebagai pengobral kata-kata
Berkoar pada gedung tentang tembok
berlumut
Mulut ini suka sekali mengajakku
melangkah, mencari kawan berbagi kekecewaan
Batu-batu menusuk kaki
Hingga tapak kaki mengukir jejak di atas
batu jalanan
Dan batu-batu jadi petunjuk ke mana
selanjutnya aku melangkah…
Tiap jengkal yang ku gapai,
tiap langkah yang ku jejakkan,
aku melangkah ke timur, berhenti di
utara,
melangkah ke selatan, tapi berhenti di
barat,
dan ingin ke barat, tapi kembali di
timur.
terombang-ambing terbawa garis takdir, bukanlah
arah tanpa tujuan.
Itulah arah yang kutuju.
Barangkali aku
menemukan akhir di satu arah itu
Akhir pencarianku, pengakuan!
Sebentar, biarkan aku bungkam.
“aku bukan lagi sang pengoar”
Dengar, batu-batu dikakinya melolong,
menggertak!… memintanya berbaring.
Dan perlahan ia menyerah pada tanah
Aroma tanah basah, membius hidupnya
Inilah akhir keterombang-ambingan mulut
pengoar, jiwa kusut, kulit keriput
“Aku di mana? Sekalipun tak pernah ku
kemari”
Suaraku berdegup
terhimpit kekosongan
Ruang hampa tanpa suara, ruang hina
tanpa aroma
“Ah…
sepertinya mereka memang meniadakanku”
(Singajara’15)
Selasa, 11 Agustus 2015
(Ke) Biasa (an) Jadi Wayang
Ada cerita di balik cerita. Ya, ini tentang cerita yang kami
ciptakan tanpa persetujuan dari kalian. Skenario hidup yang kami jalani, melayani
dalang kehidupan.
Kebiasaan... ini adalah kebiasaan. Kami biasa
dijalankan oleh kebiasaan. Kebiasan yang mengepung, membelenggu kami dari gerak
bebas yang kami inginkan. Bukannya kami tak bisa bergerak, tidak bisa berontak.
Tapi inilah kami, wayang yang harus melayani, bergerak apabila dalang bersuara. Hahahaha... ini memang keinginan kami untuk
jadi wayang. Dan ketika
kami tak kuat lagi menahan belenggu itu, kami hanya bisa menjerit, kami tak
mampu mengelak.
***
Sebenarnya kami bisa
bergerak, kami punya akal. Tapi yang dia tau hanya gerak semu saja. Gerak kami
selalu salah, selalu saja salah, dan tetap disalahkan lantaran kami hanya
wayang.
Sabtu, 21 Februari 2015
“Satu Sampah” Mengundang Sampah Lain
oleh Safitri Nurul Wahyuni
Satu sampah
mengundang sampah-sampah yang lain. memang itulah yang terjadi. Kita harus
sadar bahwa manusia adalah penghasil sampah. Sampah-sampah lahir dan hidup di
tengah kehidupan masyarakat. Sampah memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan,
oleh karena itu perlu adanya kesadaran diri manusia dalam memperlakukan sampah.
21 Februari Indonesia
memperingati Hari Peduli Sampah Nasional untuk mengenang tragedi longsornya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Leuwigajah
yang menelan 143 korban. Tragedi yang terjadi pada 21 Februari 2005 oleh
pemerintah ditetapkan sebagai hari Peduli Sampah Nasional. Peringatan Hari
Peduli Sampah Nasional sebenarnya tidak hanya terjadi dalam satu hari yang
telah ditentukan, namun setiap waktu adalah hari sampah. Hari sampah yang saya
maksud adalah hari di mana kita peduli terhadap lingkungan serta peka tehadap
keberadaan sampah.
Namun
apa yang terjadi? Kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan
masih rendah. Tidak heran jika kita masih menemui sampah di sudut-sudut kota.
Mari kita tengok selokan, sungai, pinggir-pinggir jalan, pantai, tempat wisata,
pasar, bahkan di tempat-tempat pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan
tinggi sampah seakan melilit kita.
Slogan
“Buanglah sampah pada tempatnya; Dilarang buang sampah di sungai/tempat ini;
Hanya binatang yang membuang sampah di sini, dll.” hanya menjadi kata yang
terpampang tanpa suara, dihiraukan begitu saja.
Perlu
kita ketahui bahwa satu sampah yang kita buang di sembarang tempat akan
mengundang sampah-sampah lain. Orang akan berpikir “ah... sudah ada sampah di
situ” dan ia akan membuang sampahnya di tempat itu pula, begitu seterusnya
hingga sampah berserakan pada tempat yang mulanya bersih.
Siapa
sangka, aktivitas tersebut tertanam pada diri kita hingga secara tidak sadar
kita melakukannya setiap saat, tanpa melihat tempat di mana kita berdiri. Yang kita butuhkan saat ini adalah kesadaran akan kepedulian terhadap
lingkungan. Sampah yang kita buang tidak pada tempatnya akan kembali lagi
kepada kita. Ibaratnya kita membuang sampah pada diri kita. Banyak sekali
contohnya, salah satunya adalah sampah-sampah yang kita buang di laut dengan
harapan kita tidak akan melihatnya kembali malah sebaliknya, laut akan mengirim
kembali sampah-sampah iru. Sampah akan terdampar di pinggir pantai dan meminta
untuk segera dikembalikan ke tempat yang sebenarnya.
Oleh karena itu,
mulailah diet untuk tidak membung sampah sembarangan. Sampah apapun, entah sampah organik maupun nonorganik.
Percuma jika kita hanya menyalahkan pemerintah dalam masalah kepedulian
lingkungan apabila kita (sebagai penghasil sampah) tidak mengulurkan kepedulian
untuk rumah kita, Nusantara.
Kamis, 06 November 2014
Bentara Budaya Gelar Pertunjukan
Alih Kreasi
Alih Kreasi Puisi Gde Artawan
![]() |
Abu Bakar Mengapresiasi karya Gde Artawan |
Minggu, 31/10/2014, Gde Artawan meluncurkan sebuah buku Kumpulan Puisi Tubuhku Luka Pesisir
Tubuhmu Luka Pegunungan di Bentara Budaya Bali. Puisi-puisi Gde Artawan mendapat banyak respon dari
para penggiat seni Buleleng.
Bentara Budaya Bali menggelar peluncuran buku yang dikemas
secara kreatif. Acara tersebut adalah peluncuran buku kumpulan puisi Gde
Artawan yang berjudul Tubuhku Luka
Pesisir, Tubuhmu Luka Pegunungan.
Peluncuran buku
yang diadakan pada 31/10/2014 sekaligus menjadi ajang pertunjukan alih kreasi dari puisi-puisi Gde
Artawan menjadi musikalisasi puisi, video art, pembacaan puisi, dan kidung
puisi. Peluncuran buku tersebut mendapatkan banyak respon dari para penggiat
seni Buleleng. Para penggiat seni mencoba membuat karya kreatif dari puisi Gde
Artawan. Seperti yang terlihat pada acara tersebut, Komunitas Cemara Angin
mengalih kreasikan puisi Kepada Musim menjadi musikalisasi puisi, Komunitas Film Buleleng memutar
video art, dan Komunitas Nireng membacakan puisi yang berjudul Kepada Ibu dengan berkidung.
Selain itu terlihat para seniman-seniman Bali yang ikut
mengapresiasi acara tersebut, diantanya adalah Adnyana Ole, Abu Bakar, Oka Rusmini, Warih, Abbas, Wayan Jengki, dll.
Seperti yang disampaikan Gde Artawan dalam peluncuran buku,
Gde Artawan megucapkan terima kasih kepada para seniman yang telah memberi apresiasi terhadap proses kreatif yang
dilakukannya.
Murka-Nya
Alam menangis, Ia tak kuat lagi menahan kepiluan
Ia tak kuat lagi berada dalam kepura-puraan.
Hingga akhirnya sempat ku lihat ia menitikan air kala mentari masih bersinar.
Dan ketika langit bertemu malam, ia menyampaikan apa yang ia rasakan.
Dia murka. Murka karena manusia tak peduli dengan alamnya.
Siapa sangka, mungkin juga alam murka karena manusia brusaha mengusir awan hitam yang pada dasarnya akan menghapus kegersangan.
Pi'i,13/5/14 "00.35", file dalam folder "masih ada koma"
Ia tak kuat lagi berada dalam kepura-puraan.
Hingga akhirnya sempat ku lihat ia menitikan air kala mentari masih bersinar.
Dan ketika langit bertemu malam, ia menyampaikan apa yang ia rasakan.
Dia murka. Murka karena manusia tak peduli dengan alamnya.
Siapa sangka, mungkin juga alam murka karena manusia brusaha mengusir awan hitam yang pada dasarnya akan menghapus kegersangan.
Pi'i,13/5/14 "00.35", file dalam folder "masih ada koma"
Langganan:
Postingan (Atom)