Kamis, 06 November 2014

Bentara Budaya Gelar Pertunjukan Alih Kreasi
Alih Kreasi Puisi Gde Artawan


Abu Bakar Mengapresiasi karya Gde Artawan
Minggu, 31/10/2014, Gde Artawan meluncurkan sebuah buku Kumpulan Puisi Tubuhku Luka Pesisir Tubuhmu Luka Pegunungan di Bentara Budaya Bali. Puisi-puisi Gde Artawan mendapat banyak respon dari para penggiat seni Buleleng.










Bentara Budaya Bali menggelar peluncuran buku yang dikemas secara kreatif. Acara tersebut adalah peluncuran buku kumpulan puisi Gde Artawan yang berjudul Tubuhku Luka Pesisir, Tubuhmu Luka Pegunungan.
Peluncuran buku yang diadakan pada 31/10/2014 sekaligus menjadi ajang pertunjukan alih kreasi dari puisi-puisi Gde Artawan menjadi musikalisasi puisi, video art, pembacaan puisi, dan kidung puisi. Peluncuran buku tersebut mendapatkan banyak respon dari para penggiat seni Buleleng. Para penggiat seni mencoba membuat karya kreatif dari puisi Gde Artawan. Seperti yang terlihat pada acara tersebut, Komunitas Cemara Angin mengalih kreasikan puisi Kepada Musim menjadi musikalisasi puisi, Komunitas Film Buleleng memutar video art, dan Komunitas Nireng membacakan puisi yang berjudul Kepada Ibu dengan berkidung. 
Selain itu terlihat para seniman-seniman Bali yang ikut mengapresiasi acara tersebut, diantanya adalah Adnyana Ole, Abu Bakar, Oka Rusmini, Warih, Abbas, Wayan Jengki, dll.

Seperti yang disampaikan Gde Artawan dalam peluncuran buku, Gde Artawan megucapkan terima kasih kepada para seniman yang telah memberi apresiasi terhadap  proses kreatif yang dilakukannya.

Murka-Nya

Alam menangis, Ia tak kuat lagi menahan kepiluan
 Ia tak kuat lagi berada dalam kepura-puraan. 
Hingga akhirnya sempat ku lihat ia menitikan air kala mentari masih bersinar. 
Dan ketika langit bertemu malam, ia menyampaikan apa yang ia rasakan. 
Dia murka. Murka karena manusia tak peduli dengan alamnya. 
Siapa sangka, mungkin juga alam murka karena manusia brusaha mengusir awan hitam yang pada dasarnya akan menghapus kegersangan.


Pi'i,13/5/14 "00.35", file dalam folder "masih ada koma"

Minggu, 21 September 2014

Kidung Bali Dwipa

Kidung Bali Dwipa
Safitri N.W.

Ini dunia barat?
“Bukan! ini dunia timur.”
Lihat penghuninya, kaki mereka berpijak pada adat
Gamelan dimainkan sebagai iringan tarian, sebagai iringan kejayaan, iringan pemujaan
Tubuh mereka melenggak-lenggok tegas menikmati alunan
Menari menceritakan kisah lama
Untukmu Teruna-teruni Bali Dwipa.
Seusai senja...
Sayup-sayup terdengar bisikan                                    
Itu dia! mereka mulai bersuara
Sandiwara nyata purnama menggantikan cahaya
Di bawah pobon kamboja, terdengar kidung usai senja
Menyaksikan purnama menyeri diantara selendang yang gagah tangkas sikapnya
Siapa sangka bisikan kidung Bali Dwipa adalah mantera
Selendang terikat pada tubuh Teruna-Teruni Bali Dwipa
Dalam upacara di Pura-pura mereka mengucap mantera
Kidung diperdengarkan
Berdampingan dengan dengan canang dan dupa
Hingga banten untuk para dewa, untuk semesta
Mengalirkan perasaan umat sesuai suasana

Menghanyutkan perasaan pada muaranya, bahagia hingga nelangsa.

Jumat, 02 Mei 2014

Bagaimana Bisa disalahkan?



Puisi ini saya tulis setelah mendengarkan penyair sungguhan, Gus Mus membaca puisinya yang berjudul Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana.


Bagaimana Bisa disalahkan?. . . 
(terinspirasi dari puisi Gus Mus)


Kau ini siapa?
Seenaknya saja mengaku cinta kepadaku
Aku lahir di sini kau sambut dengan suka cita
Perayaan-perayaan, ritual, pengajian, syukuran. Padahal aku tak meminta
Kau beri aku nama sebagai identitasmu
Tapi kamu merusak identitasmu atas nama aku
Kau itu siapa?
Kau nobatkan aku sebagai anutanmu
Menyuruh mereka tunduk, tapi tanpa mereka tahu kau mencibirku
Enak saja kau mengatasnamakanku dalam jahannammu

Kau juga siapa?....
Kau inginkan aku tumbuh
Aku tumbuh kau memangkasnya
Kau menyuruh mereka merawatku
Mereka merawatku, kau tindas aku semaumu
Kau menyuruh mereka melindungiku
Aku dilindungi kau memburuku
Lalu Kau itu siapa?
Kau menyuruh mereka berbagi, mereka berbagi kau menelannya

hihihihihihi... bagaimana bisa?
Bagaimana bisa kau bersila, bagaimana bisa kau memuja, bagaimana kau mengacungkan dupa,  padahal mereka kelelahan mengais sisa
Bagaimana bisa kau menghamburkan, padahal mereka mengumpulkan
Kau ini siapa?
Mereka tidak mengenalmu tapi kau memaksa untuk dikenal
Kau pernah singgah di gubuk mereka tapi kau lupakan begitu saja
Dan pada saat kau bertutur kepada mereka, mereka menyambut
Tapi saat mereka bertutur padamu, kau menghujatnya
kau ini siapa? . . .
Kau bukan pemilik dunia, juga bukan segalanya
kau mengaku taqwa tapi suka lupa
atau memang sengaja dilupakan?....

Safitri N. W.

Singaraja, 02/05/14

Kamis, 01 Mei 2014

Sentuhan-Nya

Aku menghadap ke mana?
Matahari di sebelah mana?
Bayanganku juga tak ada.
Tunggu! Suara apa itu?

 Aku mendengarnya, seperti desis angin.
Ahhh... bukan hanya itu!
Lama kelamaan suara itu mendekat,
semakin dekat, dan semakin keras.
Rupanya Tuhan.
Aku menengadah, bersiap menerima pemberian dari-Nya.
Merasakan tiap sentuhan darinya.
Dingin, sejuk, tenang, gelap
hingga tak ada yang melihat jika aku masih berdiri di sana.

Singaraja, 01/05/14

Minggu, 23 Maret 2014

sajak penunggu

 


 
aku tak mau jika hanya menatapmu semu
mataku belum siap bertemu dg matamu
aku ragu aku malu aku kaku
jika mata kita bertemu
dan saat itu aku memilih berdiri di belakangmu
membiarkan mataku bertemu dengan tubuhmu
daripada aku ragu-ragu dihadapanmu
dan terbelenggu oleh sekat abu

jika waktu lelah menungggu
aku akan menatapmu, menyentuh bahu
kau termangu mendengar pengakuanku
lalu ku berkata "sudah cukup aku menunggu"

Senin, 03 Maret 2014

kenangan tentang Damar (semalam)




Manusia, hewan, dan tumbuhan hidup adalah untuk menanti kematian. Bagainamapun dan dengan cara apapun kita menghindar, kematian akan menghampiri kita, mengajak kita melupakan kenangan yang pernah tercipta. “mereka” tidak akan pernah lagi mengingat masa-masanya di bumi, walau sebenarnya sisa tubuh mereka tertanam di bumi. Namun, kita yang masih hidup akan mengenang mereka yang mendahului meninggalkan kita.
Kenangan ini adalah salah satu kenangan tentang damar yang hanya semalam menyala memberi penerangan kepada kami, sahabat-sahabatnya, dan sekarang damar itu telah berhenti memancarkan api.
November 2013, saat kami mempersiapkan pameran BALI ACT, kami para sahabat memiliki ide untuk menggunakan salah satu gedung tua tak terpakai di Singaraja. Gedung itu adalah gedung bekas toko yang terbakar beberapa waktu silam. Gedung itu menyisakan tiang-tiang penyangga tanpa atap. Sesuai dengan tema pameran yaitu My Opinion, kami berinisiatif membungkus bagunan tua dengan koran-koran bekas dan memadukannya dengan berbagai instalasi pameran. Di sela-sela padatnya kuliah, setiap sore kami bergegas ke TKP (tempat kejadian pameran). Lembar demi lembar koran yang kami kumpulkan mulai terpasang melapisi bagunan.
November, ya bulan November adalah bulan di mana hujan mulai mengguyur tanah kering Indonesia. Malang nasib kami. Dini hari, saat kami terlelap hujan lebat mulai mengguyur Singaraja. Sial sekali, ternyata alam takberpihak kepada kami. Siang hari sepulang kuliah, beberapa dari kami bergegas menuju TKP. Mata kita terbelalak melihat bangunan tua tanpa atap yang kami ubah dengan berbagai rentetan kata menjadi rusak, lenyap bersama tetesan air yang mengenai bangunan.
Nasib malang yang menimpa kami membuat kami harus memulai dari awal, apalagi pameran yang kita laksanakan tinggal tiga hari lagi. Sungguh waktu yang sangat singkt untuk memulai semuanya. Terpaksa, selama beberapa hari kami harus lembur, menginap di TKP untuk menyelesaikan semuanya.
Malam itu, sekitar sepuluh orang bergantian merekatkan kembali koran-koran ke dinding-dinding bangunan. Jika mata sudah tidak kuat menyangga kami bergantian untuk istirahat. Malam itu, suara sahabat kami, Kak Darwis yang beberapa hari yang lalu  telah meninggalkan kami terngiang di telinga “kalau kalian ngantuk, tidur aja dulu. Biar aku yang menjaga dan nempelin korannya”.
Ternyata bermalam di bangunan tua tidak kalah dengan kemah pramuka. Kami terlelap di atas lantai beralaskan kabar berita dunia, seribu bencana, dan opini masyarakat. Dalam lelap tanpa ketenangan, aku mendengar suara gemrisik suara yang sedikit mengganggu. “Oh... aku kira apa” ternyata Kak Darwis dan satu lagi teman kami, ternyata mereka masih berjaga, entah apa yang ia lakukan. Aku terbangun, mengucek mata meihat sekeliling. Lambu-lampu jalanan masih menyala, gambar-gambar pada dinding bagunan tampak remang oleh sinar damar, ku lihat satu per satu tubuh sahabat-sabhabatku yang tergeletak menikmati kehangatan tanah. Aku memutuskan bergabung bersama mereka, bercerita tentang pelayaran hidup yang kami jalani, terutama masalah pameran.
Setelah itu, kami bertiga memutuskan untuk merekatkan kembali kata-kata yang belum terpasang (koran) pada dinding. Belum lama kami bekerja, mata mulai redup, capek, dan kami menyebar untuk sekadar meluruskan badan, tidur. Mulailah kawan-kawan lain terbangun, mulai menggantikan kami untuk merekatkan koran yang belum terpasang, hingga subuh, sebelum kami memutuskan kembali ke tempat kami.
Setitik kenangan yang Ia ciptakan selama hadir di tengah-tengah segelintir manusia aneh ini akan kami catat dalam sebuah Prasasti.