Manusia,
hewan, dan tumbuhan hidup adalah untuk menanti kematian. Bagainamapun dan
dengan cara apapun kita menghindar, kematian akan menghampiri kita, mengajak
kita melupakan kenangan yang pernah tercipta. “mereka” tidak akan pernah lagi
mengingat masa-masanya di bumi, walau sebenarnya sisa tubuh mereka tertanam di
bumi. Namun, kita yang masih hidup akan mengenang mereka yang mendahului
meninggalkan kita.
Kenangan ini
adalah salah satu kenangan tentang damar yang hanya semalam menyala memberi
penerangan kepada kami, sahabat-sahabatnya, dan sekarang damar itu telah
berhenti memancarkan api.
November
2013, saat kami mempersiapkan pameran BALI ACT, kami para sahabat memiliki ide
untuk menggunakan salah satu gedung tua tak terpakai di Singaraja. Gedung itu
adalah gedung bekas toko yang terbakar beberapa waktu silam. Gedung itu
menyisakan tiang-tiang penyangga tanpa atap. Sesuai dengan tema pameran yaitu
My Opinion, kami berinisiatif membungkus bagunan tua dengan koran-koran bekas
dan memadukannya dengan berbagai instalasi pameran. Di sela-sela padatnya
kuliah, setiap sore kami bergegas ke TKP (tempat kejadian pameran). Lembar demi
lembar koran yang kami kumpulkan mulai terpasang melapisi bagunan.
November, ya
bulan November adalah bulan di mana hujan mulai mengguyur tanah kering
Indonesia. Malang nasib kami. Dini hari, saat kami terlelap hujan lebat mulai
mengguyur Singaraja. Sial sekali, ternyata alam takberpihak kepada kami. Siang hari
sepulang kuliah, beberapa dari kami bergegas menuju TKP. Mata kita terbelalak
melihat bangunan tua tanpa atap yang kami ubah dengan berbagai rentetan kata menjadi
rusak, lenyap bersama tetesan air yang mengenai bangunan.
Nasib malang
yang menimpa kami membuat kami harus memulai dari awal, apalagi pameran yang
kita laksanakan tinggal tiga hari lagi. Sungguh waktu yang sangat singkt untuk
memulai semuanya. Terpaksa, selama beberapa hari kami harus lembur,
menginap di TKP untuk menyelesaikan semuanya.
Malam itu,
sekitar sepuluh orang bergantian merekatkan kembali koran-koran ke
dinding-dinding bangunan. Jika mata sudah tidak kuat menyangga kami bergantian
untuk istirahat. Malam itu, suara sahabat kami, Kak Darwis yang beberapa hari
yang lalu telah meninggalkan kami
terngiang di telinga “kalau kalian ngantuk, tidur aja dulu. Biar aku yang
menjaga dan nempelin korannya”.
Ternyata bermalam
di bangunan tua tidak kalah dengan kemah pramuka. Kami terlelap di atas lantai
beralaskan kabar berita dunia, seribu bencana, dan opini masyarakat. Dalam lelap
tanpa ketenangan, aku mendengar suara gemrisik suara yang sedikit mengganggu. “Oh...
aku kira apa” ternyata Kak Darwis dan satu lagi teman kami, ternyata mereka masih berjaga,
entah apa yang ia lakukan. Aku terbangun, mengucek mata meihat sekeliling. Lambu-lampu
jalanan masih menyala, gambar-gambar pada dinding bagunan tampak remang oleh
sinar damar, ku lihat satu per satu tubuh sahabat-sabhabatku yang tergeletak
menikmati kehangatan tanah. Aku memutuskan bergabung bersama mereka, bercerita
tentang pelayaran hidup yang kami jalani, terutama masalah pameran.
Setelah itu,
kami bertiga memutuskan untuk merekatkan kembali kata-kata yang belum terpasang
(koran) pada dinding. Belum lama kami bekerja, mata mulai redup, capek, dan
kami menyebar untuk sekadar meluruskan badan, tidur. Mulailah kawan-kawan lain
terbangun, mulai menggantikan kami untuk merekatkan koran yang belum terpasang,
hingga subuh, sebelum kami memutuskan kembali ke tempat kami.
Setitik kenangan
yang Ia ciptakan selama hadir di tengah-tengah segelintir manusia aneh ini akan
kami catat dalam sebuah Prasasti.